JAKARTA [KLIK INDONESIA] - Mentari sore menyinari dinding-dinding kusam Rusun Marunda, menerangi wajah-wajah penuh kekhawatiran. Di balik tembok beton yang menjulang, tersimpan cerita kehidupan puluhan keluarga yang kini dibayangi ancaman penggusuran. Bukan penggusuran fisik, melainkan penggusuran hati, karena kebijakan baru Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang membatasi masa hunian di rusun ini. Lima tahun, itulah batas waktu yang diberikan, sebuah angka yang terasa begitu singkat bagi Rini (45), dan ratusan penghuni lainnya yang telah menjadikan Rusun Marunda sebagai rumah.
Lima tahun bukanlah waktu yang singkat bagi Rini. Di sini, di antara deretan bangunan yang rapat dan lorong-lorong sempit, ia telah membesarkan anak-anaknya, menjalin persahabatan dengan tetangga, dan membangun kehidupan yang sederhana namun penuh makna. Dinding-dinding kamarnya yang sederhana menyimpan kenangan, dari tawa anak-anak hingga air mata kesedihan. Kini, kenangan itu terancam sirna, tergantikan oleh kecemasan akan masa depan yang tak menentu.
"Kami sudah lama tinggal di sini, sudah membayar sewa dengan tertib," ujar Rini, suaranya bergetar menahan emosi.
"Kalau harus pindah, kami akan kesulitan mencari tempat tinggal lain yang terjangkau. Di Jakarta ini, semua mahal!" Matanya berkaca-kaca, mencerminkan keputusasaan yang perlahan menggerogoti hatinya seperti yang dikutip dari kompas.com.
Rusun Marunda, bagi warga di sini, bukan sekadar tempat tinggal. Ia adalah sebuah komunitas, sebuah keluarga besar yang saling mendukung dan berbagi suka duka. Harga sewa yang relatif terjangkau menjadi penyelamat bagi mereka yang berpenghasilan pas-pasan, sebuah oase di tengah hiruk-pikuk kehidupan Jakarta yang serba mahal. Kehidupan mereka telah terjalin erat dengan lingkungan sekitar, dengan tetangga yang telah menjadi seperti keluarga sendiri.
Namun, kebijakan pembatasan masa hunian ini mengancam semua itu. Bayangan mencari tempat tinggal baru, berurusan dengan birokrasi, dan menghadapi biaya pindah yang tak sedikit, menimpa mereka seperti momok menakutkan. Mereka bukannya menolak untuk pindah, namun mereka meminta waktu dan solusi yang lebih manusiawi. Mereka berharap pemerintah mendengarkan keluhan mereka, mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi mereka, dan memberikan solusi yang lebih adil.
"Saya berharap pemerintah mau mendengar keluhan kami dan memberikan solusi yang lebih manusiawi," kata Rini, suaranya masih bergetar. Harapan itu terpancar dari matanya, sebuah harapan yang dipegang teguh di tengah ketidakpastian yang membayangi. Di balik dinding-dinding Rusun Marunda, tersimpan lebih dari sekadar tempat tinggal; tersimpan harapan, mimpi, dan perjuangan hidup sederhana yang layak untuk diperjuangkan. Nasib mereka kini bergantung pada kebijakan pemerintah, sebuah kebijakan yang menentukan masa depan mereka di kota yang penuh gemerlap namun juga penuh ketidakadilan.*
Kirim Komentar